Pengelolaan Tanaman Toga di Tapsel Diduga Tuai Kontroversi

TAJUK Tapsel – Tanaman toga atau tanaman obat keluarga memegang peranan penting dalam meningkatkan kesehatan keluarga dan masyarakat secara alami. Namun, kenyataannya di sejumlah desa menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam pengelolaan tanaman toga.

Di beberapa desa yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), tanaman toga terbengkalai dan hanya tersisa rumput, menciptakan kesan pemborosan dan kurangnya perhatian terhadap kekayaan alam yang bernilai ini.

Anggaran sebesar Rp 10 juta yang dialokasikan di APBDesa untuk tanaman toga dianggap tidak memberikan hasil yang optimal dan diduga adanya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Hal ini diungkapkan Ketua Aliansi Mahasiswa Maju Terintegasi (Almamater), Didi Santoso, Minggu (10/12/2023). Dia mengungkapkan, banyak tanaman toga di desa tidak terealisasi dengan baik.

Santoso menyampaikan kepada awak media bahwa dengan dana sebesar 2 juta per desa, dapat merawat dan memperbaiki tanaman toga tersebut.

Menurutnya, alokasi anggaran sebesar 10 juta dinilai sebagai pemborosan, dan dugaan adanya unsur KKN semakin kuat.

“Pengadaan tanaman TOGA ini ternyata tidak terealisasi penuh, sementara pencairan anggarannya direalisasikan 100 persen. Dugaan keterlibatan Ketua Tim Penggerak PKK adalah menitipkan anggaran pelatihan dan pengadaan TOGA di seluruh APBDesa dengan dikoordinir oleh Ketua APDESI dan seizin Kadis PMD Tapsel,” ungkap Santoso.

Menurut Santoso, masyarakat Tapsel sudah memiliki pengetahuan turun-temurun dalam bertani dan tanaman toga. Ia menyoroti pertanyaan tentang perlunya biaya pelatihan untuk tanaman toga, sementara masyarakat setempat telah menggeluti pertanian secara tradisional.

Santoso menduga banyak desa hanya memiliki tanaman toga dengan nilai sekitar 1 juta rupiah, bahkan beberapa desa hanya memiliki rumput dan sedikit tanaman toga.

“Kontroversi terkait pengelolaan tanaman toga di desa ini semakin memunculkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas alokasi anggaran di tingkat desa, serta perlunya tindakan untuk memastikan bahwa tanaman toga benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat setempat,” tutupnya.(Stevenson)